Jenis reaksi transfusi akut
1. Hemolitik
akut
Hemolitik akut merupakan reaksi transfusi yang berbahaya dan dapat mengancam nyawa. Reaksi ini merupakan lisisnya sel darah merah donor atau pasien yang disebabkan karena ketidakcocokan jenis golongan darahnya, Reaksi ini dapat terjadi sesaat setelah transfusi dilakukan dan belangsung cepat. Hemolisis akut dapat terjadi melalui mekanisme hemolisis ekstravaskular maupun intravascular (WHO,2002).
2. Febrile non hemolytic transfusion
reaction (FNHTR)
Reaksi
FNHTR terjadi karena dilepaskannya sitokin dari sel lekosit. Gejala klinis yang timbul adalah demam dan
tidak disertai dengan reaksi hemolisis. Terjadinya reaksi transfusi FNHTR dapat
dikenali apabila ada kenaikan suhu tubuh >
3. Reaksi
anafilaktik dan anaphylactoid
Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid merupakan reaksi hipersensitivitas pada respon sistem imun yang merupakan bagian dari reaksi alergi. Reaksi anafilaktik adalah reaksi pada individu dengan defisiensi IgA yang mempunyai anti-IgA dari paparan sebelumnya. Gejala klinis pada reaksi ini adalah batuk, sesak napas, mual, muntah, sakit di bagian dada, hipotensi, diare, dapat menyebabkan syok, hilang kesadaran yang dapat berujung pada kematian. Umumnya reaksi ini jarang terjadi, namun dapat membahayakan jiwa pasien (WHO, 2002)
4. Transfusion related acute lung
injury (TRALI)
TRALI dapat
terjadi karena plasma donor yang mengandung antibodi terhadap lekosit yaitu
(anti-HLA) atau Ab terhadap sel netrofil (antiHNA) pada plasma donor melawan
leukosit pasien. Antibodi tersebut diperoleh dari paparan karena pernah
dilakukan transfusi darah sebelumnya. Gejala klinis biasanya terjadi pada
kisaran 6 jam selama proses transfusi (WHO, 2002)
Jenis reaksi transfusi lambat
1. Reaksi
hemolitik lambat
Reaksi hemolitik lambat dapat terjadi karena pasien sudah pernah terpapar dengan jenis Ag yang sama sebelumnya sehingga pasien sudah mempunyai Ab terhadap Ag tersebut (Maharani dan Noviar, 2018). Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi. Gejala klinis yang timbul yaitu: demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Sementara itu reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi (WHO,2002).
2. Purpura
pasca transfusi
Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial. Hal ini disebabkan karena adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien, umumnya reaksi ini banyak terjadi pada wanita (WHO,2002). Gejala klinis yang terjadi berupa purpura (kulit kemerahan) dan trombositopenia sekitar 1 – 2 minggu setelah transfusi. Trombositopenia berat dapat terjadi dengan penurunan jumlah trombosit sampai 10.000/µL darah. Reaksi tersebut dapat mendorong terjadinya hematuria, perdarahan pada saluran pencernaan sehingga terjadi kondisi melena (Maharani dan Noviar, 2018).
3. Penyakit
graft-versus-host atau Transfusion-associated graft vs host disease
(TA-GVHD)
Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat mendukung (WHO,2002).
4. Allo-imunisasi
Allo-imunisasi yaitu terbentuknya Ab terhadap paparan dengan Ag sel darah merah, lekosit maupun trombosit sebelumnya. Reaksi ini biasanya terjadi pada pasien yang mendapat beberapa kali transfusi darah. Gejala klinis yang timbul, umumnya tidak terlalu parah, seperti demam dan penurunan konsentrasi Hb, namun ada beberapa kasus berat yang dapat terjadi pada reaksi ini seperti perdarahan. Untuk mengetahui adanya reaksi allo-imunisasi, dapat dilakukan pemeriksaan Coomb’s test maupun skrining dan identifikasi Ab (Maharani dan Noviar, 2018).
5. Akumulasi
Fe (kelebihan zat besi)
Pasien yang
sering melakukan tindakan transfusi dalam jangka waktu yang panjang akan
mengalami akumulasi Fe dalam tubuhnya. Hal ini dapat disebabkan karena tubuh
tidak bisa mengeluarkan Fe dalam jumlah besar akibat molekul hemoglobin sel
darah merah dihancurkan, sehingga Fe disimpan di dalam tubuh sebagai
hemosiderin dan ferritin. Gejala klinis yang timbul seperti : kelemahan otot,
kelelahan, penurunan berat badan, ikterus, anemia, denyut jantung yang tidak
teratur (WHO,2002).
Sumber
:
- Maharani, E. A., Noviar, G. 2018. Imunohematologi dan Bank Darah. Jakarta.
- WHO. 2002. The clinical use of blood: handbook. Geneva
Posting Komentar
Posting Komentar