Reaksi Transfusi

Reaksi Transfusi,Transfusi Lambat,Teknologi Transfusi Darah,Transfusi Darah,Transfusi Akut,Bank Darah,Jenis Reaksi,

Reaksi transfusi adalah komplikasi atau efek samping yang terjadi sebagai akibat pemberian transfusi (WHO,2002). Reaksi transfusi dapat terjadi karena ketidakcocokan (inkompatibilitas) antara darah donor dan pasien, selain itu dapat terjadi karena kualitas produk darah yang kurang baik.  Reaksi transfusi yang terjadi dapat dibedakan beberapa klasifikasi yang dapat dilihat dari gejala klinis yang muncul. Gejala klinis yang timbul pada pasien transfusi, dapat terjadi pada kisaran 24 jam semenjak proses transfusi (reaksi transfusi akut) atau setelah 24 jam paska transfusi (reaksi transfusi tunda). Reaksi tersebut dapat melibatkan sistem imun (reaksi Ag dan Ab) (Maharani dan Noviar, 2018).

Jenis reaksi transfusi akut

1.       Hemolitik akut

Hemolitik akut merupakan reaksi transfusi yang berbahaya dan dapat mengancam nyawa. Reaksi ini merupakan lisisnya sel darah merah donor atau pasien yang disebabkan karena ketidakcocokan jenis golongan darahnya, Reaksi ini dapat terjadi  sesaat setelah transfusi dilakukan dan belangsung cepat. Hemolisis akut  dapat terjadi melalui mekanisme hemolisis ekstravaskular maupun intravascular (WHO,2002). 

2.       Febrile non hemolytic transfusion reaction (FNHTR)

Reaksi FNHTR terjadi karena dilepaskannya sitokin dari sel lekosit.  Gejala klinis yang timbul adalah demam dan tidak disertai dengan reaksi hemolisis. Terjadinya reaksi transfusi FNHTR dapat dikenali apabila ada kenaikan suhu tubuh >  pada saat atau selama 24 jam paska transfusi yang disertai dengan gejala menggigil, demam, sakit kepala, nyeri otot. Selain itu, pasien dapat menderita hipotensi, muntah dan pernapasan terganggu  (Maharani dan Noviar, 2018). 

3.       Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid

Reaksi anafilaktik dan anaphylactoid merupakan reaksi hipersensitivitas pada respon sistem imun yang merupakan bagian dari reaksi alergi. Reaksi anafilaktik adalah reaksi pada individu dengan defisiensi IgA yang mempunyai anti-IgA dari paparan sebelumnya. Gejala klinis  pada reaksi ini adalah batuk, sesak napas, mual, muntah, sakit di bagian dada, hipotensi, diare, dapat menyebabkan syok, hilang kesadaran yang dapat berujung pada kematian. Umumnya reaksi ini jarang terjadi, namun dapat membahayakan jiwa pasien (WHO, 2002)

4.       Transfusion related acute lung injury (TRALI)

TRALI dapat terjadi karena plasma donor yang mengandung antibodi terhadap lekosit yaitu (anti-HLA) atau Ab terhadap sel netrofil (antiHNA) pada plasma donor melawan leukosit pasien. Antibodi tersebut diperoleh dari paparan karena pernah dilakukan transfusi darah sebelumnya. Gejala klinis biasanya terjadi pada kisaran 6 jam selama proses transfusi (WHO, 2002)

Jenis reaksi transfusi lambat

1.      Reaksi hemolitik lambat

Reaksi hemolitik lambat dapat terjadi karena pasien sudah pernah terpapar dengan jenis Ag yang sama sebelumnya sehingga pasien sudah mempunyai Ab terhadap Ag tersebut (Maharani dan Noviar, 2018). Reaksi hemolitik lambat timbul 5-10 hari setelah transfusi. Gejala klinis yang timbul yaitu: demam, anemia, ikterik dan hemoglobinuria. Sementara itu reaksi hemolitik lambat yang berat dan mengancam nyawa disertai syok, gagal ginjal dan DIC jarang terjadi (WHO,2002).

2.      Purpura pasca transfusi

Purpura pasca transfusi merupakan komplikasi yang jarang tetapi potensial. Hal ini disebabkan karena adanya antibodi langsung yang melawan antigen spesifik trombosit pada resipien, umumnya reaksi ini banyak terjadi pada wanita (WHO,2002). Gejala klinis yang terjadi berupa purpura (kulit kemerahan) dan trombositopenia sekitar 1 – 2 minggu setelah transfusi. Trombositopenia berat dapat terjadi dengan penurunan jumlah trombosit sampai 10.000/µL darah. Reaksi tersebut dapat mendorong terjadinya hematuria, perdarahan pada saluran pencernaan sehingga terjadi kondisi melena (Maharani dan Noviar, 2018).

3.      Penyakit graft-versus-host atau Transfusion-associated graft vs host disease (TA-GVHD)

 Komplikasi ini jarang terjadi namun potensial membahayakan. Biasanya terjadi pada pasien imunodefisiensi, terutama pasien dengan transplantasi sumsum tulang; dan pasien imunokompeten yang diberi transfusi dari individu yang memiliki tipe jaringan kompatibel (HLA: human leucocyte antigen), biasanya yang memiliki hubungan darah. Gejala dan tanda, seperti demam, rash kulit dan deskuamasi, diare, hepatitis, pansitopenia, biasanya timbul 10-12 hari setelah transfusi. Tidak ada terapi spesifik, terapi hanya bersifat mendukung (WHO,2002).

4.      Allo-imunisasi

Allo-imunisasi yaitu terbentuknya Ab terhadap paparan dengan Ag sel darah merah, lekosit maupun trombosit sebelumnya. Reaksi ini biasanya terjadi pada pasien yang mendapat beberapa kali transfusi darah. Gejala klinis yang timbul, umumnya tidak terlalu parah, seperti demam dan penurunan konsentrasi Hb, namun ada beberapa kasus berat yang dapat terjadi pada reaksi ini seperti perdarahan. Untuk mengetahui adanya reaksi allo-imunisasi, dapat dilakukan pemeriksaan Coomb’s test maupun skrining dan identifikasi Ab (Maharani dan Noviar, 2018). 

5.      Akumulasi Fe (kelebihan zat besi)

Pasien yang sering melakukan tindakan transfusi dalam jangka waktu yang panjang akan mengalami akumulasi Fe dalam tubuhnya. Hal ini dapat disebabkan karena tubuh tidak bisa mengeluarkan Fe dalam jumlah besar akibat molekul hemoglobin sel darah merah dihancurkan, sehingga Fe disimpan di dalam tubuh sebagai hemosiderin dan ferritin. Gejala klinis yang timbul seperti : kelemahan otot, kelelahan, penurunan berat badan, ikterus, anemia, denyut jantung yang tidak teratur (WHO,2002).


Sumber :

  • Maharani, E. A., Noviar, G. 2018. Imunohematologi dan Bank Darah. Jakarta.
  • WHO. 2002. The clinical use of blood: handbook. Geneva


Related Posts

Posting Komentar